SUKU ANAK DALAM
Dalam 25 tahun,
Sumatera kehilangan hutan 9 juta hektar. Tahun 1990, tutupan hutan Sumatera
masih lebih 20 juta hektar, pada 2015 tinggal 11 juta hekar, atau sekitar
44%.Diki Kurniawan, Direktur KKI Warsi mengatakan, kehilangan hutan ini membawa
dampak nyata bagi warga yang hidup di dalam dan sekitar hutan. “Kehidupan
mereka jadi sulit. Akses dan keterlibatan masyarakat mengelola hutan makin
sempit,” katanya. Kondisi ini, menyebabkan konflik sosial antara kelompok
masyarakat. Catatan Warsi, ada 14 Orang Rimba meninggal sia-sia karena abentrok
dengan masyarakat sekitar.
Sudah 31 tahun lamanya
sengketa tanah adat Suku Anak Dalam (SAD) 113, desa Bungku, Bajubang, Kabupaten
Batanghari dengan PT. Asiatic Persada tak kunjung menemukan penyelesaian.
Konflik yang terjadi sejak tahun 1986 masih berlarut-larut sampai saat ini.
Mawardi, pendamping SAD 113 dari Sarikat Tani Nasional (STN) menilai pemerintah
tak serius dalam upaya penyelesaian sengketa yang kini belum menemukan titik
terang.
A. Penyebab dan Solusi dari Konflik Agraria
terhada Suku Anak Dalam
Sekretaris Jenderal
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, di Jakarta, mengungkapkan, perampasan tanah, konflik
agraria, dan kekerasan terhadap Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi terus
berlangsung sejak 7 Desember 2013 dan sekitar 700 rumah gubuk milik SAD telah
dihancurkan oleh aparat keamanan dan perusahaan sawit PT Asiatik Persada.
Akibatnya, sekitar 3.000 jiwa lebih warga SAD sejak saat itu terusir dari tanah
leluhurnya dan tidak dapat pulang kembali ke rumahnya karena berkonflik dengan
PT Asiatik Persada yang merupakan perusahaan sawit asing milik Malaysia yang
menklaim sekitar 27.150 hektar lahan. Menurut Iwan, pada 8 Januari 2014, ribuan
pengungsi SAD pernah diusir dari kantor Pemprov Jambi melalui pernyataan,
Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jambi, Syahrasadin. Syahrasadin
mengultimatum warga SDA 3 x 24 jam segera membubarkan diri dan menghentikan
aksi unjuk rasa serta segera meninggalkan Kota Jambi.
Mawardi mengatakan
tanah masyarakat adat SAD seluas 3.550 Hektar telah dibuktikan dalam peta mikro
berdasarkan data resmi Badan Inventarisasi dan Tataguna Hutan Departemen
Kehutanan No 393/VII-4/1987 tanggal 11 Juli 1987. Selain itu, hasil penelitian
secara resmi yang dilakukan BPN Provinsi Jambi tahun 2008 membuktikan masih
adanya sisa perkebunan, perladangan, kuburan tua, dan bekas pemukiman tua SAD
yang di duduki pihak perusahaan. Kawasan tersebut dalam adat SAD disebut
wilayah Tanah Menang, Pinang Tinggi, dan Padang Salak.
Ketua adat SAD Batin Bahar
mengaku pola 2.000 hektar yang diberikan perusahaan asal malaysia tersebut
dianggap merugikan warga SAD. Selain wilayah yang dituntut berada diluar HGU
perusahaan, lahan tersebut bukan merupakan lahan perusahaan melainkan lahan
negara yang telah dikelola masyarakat local. Selain negara dirugikan,
masyarakat SAD juga dirugikan dengan pola kredit tersebut. Seakan-akan
masyarakat diuntungkan dengan pembagian lahan 2000 Hektar, namun dalam
kenyataannya banyak sekali persoalan dalam wilayah kemitraan 2000 ha baik
masalah data warga yang tidak jelas, sebagian areal dalam status Hutan Produksi
Terbatas (HPT), sampai pada kasus gratifikasi oleh oknum di TIM Terpadu
Kabupaten Batanghari
Selain merasa dirugikan
oleh pola 200 hektar tersebut, pada 22 Februari 2015, ribuan SAD yang kembali
ke lahan adatnya di desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari justru
dihalangi oleh ratusan pasukan gabungan TNI dan Polri di jalan masuk menuju
lokasi tanah adat. SAD kemudian mendirikan tenda di pinggir jalan dusun Sosial
I, II, dan Bungku. Berlarut-larutnya penyelesaian konflik agraria itu merenggut
satu orang petani SAD akibat dianiaya aparat keamanan dan preman perusahaan
sawit PT Asiatik Persada. Negara abai, bahkan aparat yang seharusnya menjadi
garda terdepan dalam melayani rakyat, justru menjadi pelopor menggusur warga
SAD.
Segala cara
penyelesaian sengketa antara warga SAD dan PT Asiatic Persada telah ditempuh
tanpa menemui jalan keluar yang memenuhi rasa keadilan agraria. Kini upaya
penyelesaian konflik agraria runtuh, karena lahirnya korban jiwa dari Suku Anak
Dalam. Namun pemerintah telah berupaya untuk menyelesaikan konflik ini dengan
mengadakan Rapat Koordinasi Percepatan Penyelesaian Permasalahan Suku anak
Dalam pada awal tahun 2018. Rapat
koordinasi ini adalah tahap awal untuk mengumpulkan informasi dari semua pihak
terkait permasalahan yang dihadapi SAD serta solusi yang mungkin ditawarkan
untuk penyelesaiannya Dan hasil dari rapat koordinasi tersebut adalah sebagai
berikut :
- Mendorong Pemprov untuk melakukan pendataan SAD dan Orang Rimba di Provinsi Jambi dengan melibatkan stake holder terkait termasuk KLHK karena sebagian SAD tinggal di kawasan hutan.Akan dilakukan pertemuan lanjutan dengan semua stake holder (pemerintah dan NGO) untuk merumuskan permasalahan sebenarnya dari SAD sehingga mempunyai persamaan persepsi terhadap masalah tersebut.
- Adanya koordinasi antara pemerintah dengan akademisi dan masyarakat sipil terkait penyelesaian masalah SAD.
- Terkait dengan Hutan Adat, maka yang harus diperjelas dulu status masyarakat hukum adatnya termasuk bagi SAD
B. Perkembangan Penduduk Suku Anak Dalam
Saat ini terdapat tiga
kategori kelompok pemukiman masyarakat Suku Anak dalam. Pertama:
yang bermukim di
dalam hutan dan
hidup berpindah-pindah. Kedua:
kelompok yang hidup di dalam hutan dan menetap. Ketiga: kelompok yang
pemukimannya bergandengan dengan pemukiman
orang luar (masyarakat umum) .Secara garis besar di
Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di
utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit
12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka
hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun
banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Hasil survei Kelompok
Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan
Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian
dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu
Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit
terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan
menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih
tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD,
kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi
terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang.
Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari
sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai
Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai
Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya
sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya
menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang. Karena tidak dekat
dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba.
Mereka menyebutnya seloka adat.
C.
Faktor
Demografi
Demografi
adalah uraian tentang penduduk, terutama tentang kelahiran, perkawinan,
kematian dan migrasi. Demografi meliputi studi ilmiah tentang jumlah,
persebaran geografis, komposisi penduduk, serta bagaimana faktor faktor ini
berubah dari waktu kewaktu
Suku Kubu atau juga
dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa
minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera
Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah
populasi sekitar 200.000 orang
Menurut tradisi lisan
suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di
sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan
Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah Pagaruyung,
yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya
kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem kekeluargaan
matrilineal.
Suku Anak Dalam
hidupnya berpindah-pindah. Mereka hidup nomaden, karena kebiasaannya
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi melangun atau pindah ketika ada warga meninggal,
berkurangnya hewan buruan, dan pergantian musim buah-buahan. Suku Anak Dalam
tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, yaitu
bangunan dari kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun pakis hutan yang besar dan keras ( sikai ),
ataupun terpal.
Di kawasan hutan hidup secara berkelompok dan menyebar ke
beberapa kabupaten, seperti
di Kabupaten Batang
Hari, Tebo, Bungo,
Sarolangun dan Merangin. Sejumlah ahli
antropolog berpandangan bahwa Suku Anak
Dalam termasuk kategori protom
Melayu (Melayu Tua). Berdasarkan
beberapa hasil penelitian SAD Jambi
memiliki beberapa kesamaan
dengan suku Melayu lainnya,
seperti bahasa, kesenian dan tradisi lainnya. Salah satu contohnya adalah bentuk pelaksanaan upacara Besale (upacara
pengobatan) pada masyarakat SAD hampir
sama dengan bentuk
upacara aseik (upacara
pengobatan) pada masyarakat
Kerinci yang juga tergolong sebagai protom Melayu
Hubungan antara
anggota SAD sangatlah
erat, hal ini
dikarenakan adanya hubungan kekerabatan
antar sesama anggota
SAD. Satu orang
laki-laki (suami) bisa memiliki 3 hingga 4
istri. Istri-istri tersebut
terkadang masih dalam 1
keturunan atau kakak beradik dan ada
juga yang masih ada hubungan darah keluarga besar. Bagi mereka kekayaan berupa
uang bukanlah hal yang utama, sehingga pertengkaran antar istri sangat
jarang terjadi. Harta
yang sangat berharga
bagi mereka adalah
kain panjang yang biasanya mereka
dapatkan ketika akan
menikah atau kelahiran
anak. Sehingga, kemanapun mereka
pergi kain–kain tersebut harus dibawa.
D. Kebudayaan dan Kepribadian
Sistem kekerabatan
orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan system kekerabatan budaya
Minangkabau.Orang Rimba tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan
namanya, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang
tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia.
Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba. Kebudayaan
orang Rimba juga mengenal sistem pelapisan sosial. Temenggung adalah pemimpin
utama dalam struktur kelompok.
Meraka pada umumnya
tidak berpakaian, namun mereka menggunakan cawat kain untuk menutupi
kemaluannya. Dahulu aslinya mereka menggunakan cawat dari kulit kayu terap atau
serdang, namun karena cawat dari kulit kayu sering menimbulkan rasa sakit
akibat kutu kayu yang masuk ke dalam kulit, sehingga mereka meninggalkannya dan
beralih dengan kain yang mereka beli di pasar melalui masyarakat umum.
Tingkat kemampuan
intelektual suku anak dalam dapat disebut masih rendah dan temperamen mereka
pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun masih terbatas, tetapi sudah terjadi
interaksi sosial dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan terhadap nilai
nilai budaya luar semakin tampak.
Budaya suku anak dalam
itu ketika seorang anggota keluarganya meninggal dunia, itu merupakan peristiwa
yang menyedihkan, terutama pihak keluarganya. Mereka yang berada disekitar
rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut tempat sial.
Kepercayaan tersebut bermula di dahulu kala semenjak mereka tinggal di dalam
hutan.
Pada umumnya mereka
percaya terhadap dewa-dewa, istilah ethnik yakni dewo-dewo. Mereka yang percaya
roh-roh sebagai sesuatu kekuatan gaib. Sistem kekerabatan orang rimba tidak
boleh menyebut nama-nama mereka, dan tidak boleh juga menyebut orang yang telah
meninggal dunia. Dan sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran. Kebudayaan
suku anak dalam ini sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat modern seperti
sekarang ini.
Dian Prihatini, 2007.
Makalah ”kebudayaan Suku Anak Dalam”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi.
Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Comments
Post a Comment